Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati
fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala
sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik
berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang
berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode
yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya
tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap
teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana
adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya
sendiri).
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin
keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang
berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan
diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog:
“Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi
berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua
fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha
inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh
untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata
epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda
kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu
fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.
Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri
oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting:
Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam
kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek
kesadaran.
Selanjutnya, menurut
Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1.
Method of historical bracketing. Metode yang mengesampingkan aneka
macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari,
baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.
Method of existensional bracketing. Meninggalkan atau abstain
terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.
Method of transcendental reduction. Mengolah data yang kita sadari
menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
- Method of eidetic reduction. Mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Dengan menerapkan
empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari
realitas yang diamati.
Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat
pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu
bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound,
memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah:
a) kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun
kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks,
dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas.
b) hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi,
keduanya sulit dipisahkan.
c) lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil
penelitian.
d) sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara
simultan.
inkuiri terikat nilai, bukan values free.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar