Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak
asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan
kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah
saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram
atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri
dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan
menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban
menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis
kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya
menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang
demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran
terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah mempunyai tuga
sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap
memerintah. Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan
kepada Allah-lah kembali semua urusan." (QS. 22: 4)
Jaminan Hak Pribadi
Jaminan pertama hak-hak pribadi dalam
sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-Qur’an.
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada penghuninya... dst." (QS. 24: 27-28)
Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Hanbal
dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat
melalui celah-celah ointu atau melalui lubang tembok atau sejenisnya selain
membuka pintu, lalu tuan rumah melempar atau memukul hingga mencederai matanya,
maka tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun ia mampu membayar denda.
Jika mencari aib orang dilarang kepada
individu, maka itu dilarang pula kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan
mencari-cari kesalahan rakyat atau individu masyarakat. Rasulullah saw
bersabda: "Apabila pemimpin mencari keraguan di tengah manusia, maka ia
telah merusak mereka." Imam Nawawi dalam Riyadus-Shalihin menceritakan
ucapan Umar: "Orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa rasulullah saw.
Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya menghukumi apa yang
kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan kalian."
Muhammad Ad-Daghmi dalam At-Tajassus wa
Ahkamuhu fi Syari’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama berpendapat bahwa
tindakan penguasa mencari-cari kesalahan untuk mengungkap kasus kejahatan dan
kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam mengungkap kemunkaran itu. Para ulama
menetapkan bahwa pengungkapan kemunkaran bukan hasil dari upaya mencari-cari
kesalahan yang dilarang agama.
Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah
dilakukan manakala muhtasib telah berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran
pada diri seseorang, atau dia telah berupaya mencari-cari bukti yang mengarah
kepada adanya perbuatan kemunkaran. Para ulama menyatakan bahwa setiap
kemunkaran yang berlum tampak bukti-buktinya secara nyata, maka kemunkaran itu
dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan bagi pihak lain untuk
mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya pengungkapan ini termasuk tajassus
yang dilarang agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar